Iman Rahman: Saatnya Indonesia Belajar Industri Manufaktur ke Vietnam

 Ekonomi

 

Ketua Bidang Promosi dan Pemasaran Wilayah Asia DPP HIMKI Iman Rahman sebagai salah seorang delegasi HIMKI yang melakukan lawatan ke Vietnam. Pada lawata ketika berada di salah satu industri mebel di Vietnam ketika melakukan lawatan itu,beliau pun berkesempatan berkunjungan ke salah satu industri mebel di negara sosialis tersebut.

JAKARTA(Tilongkabilanews.id) – Pengamatan dari dekat, yaitu ketika berpameran dan mengunjungi beberapa pabrik mebel di Vietnam beberapa waktu lalu, beberapa pelaku industri mebel Indonesia sebagai delegasi yang ditugaskan HIMKI (Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia) berkesimpulan  industri mebel dan kerajinan di Vietnam ternyata jauh lebih maju dari industri serupa yang ada di Indonesia. Negara tersebut industrinya mengalami perttumbuhan dan perkembangan yang luar biasa pesatnya, salah satunya di sektor industri mebel dan kerajinan.

Tumbuh dan berkembangnya industri mebel dan kerajinan di Vietnamm itu bisa dilihat dari skala produksi maupun volume ekspornya yang cukup fantastis. Contohnya adalah ada banyak pabrik mebel di negara tersebut yang mampu melakukan ekspor mebelnya mencapai 200 konaiter per bulan.

Tumbuh dan berkembang serta tingginya volume ekspornya menunjukkan,industri mebel di negara tersebut jauh lebih maju dari Indonesia. Kemajuan yang dicapai industri mebel di negara itu tidak terlepas dari penggunaan teknologi dan mesin yang canggih. Teknologi dan permesinan yang canggih dan digunakan di industri mebel di Vietnam menunjukkan lebih maju belasan hingga puluhan tahun dibandingkan industri serupa di Indonesia.

Karena itu jangan heran, maju dan berkembangnya industri mebel di Vietnam itu mampu mensuplai kebutuhan akan produk mebel di pasar global. Hal ini tentu yang membuat industri mebel Vietnam ini menjadi pesaing kuat bagi Indonesia.

Terkait maju dan berkembangnya industri mebel yang sangat pesat tersebut, telah mendorong keinginan pelaku industri mebel dan kerajinan di Indonesia yang tergabung dalam HIMKI (Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia) untuk  belajar bagaimana mengelola dan strategi yang diterapkan pelaku industri mebel di Vietnam.

Guna mewujudkan untuk menimba ilmu dalam mengembangkan industri mebel, HIMKI pun mengirimkan delegasinya melakukan lawatan ke Vietnam. Lawatan ke Vietnam itu dinilai perlu, karena pelaku industri mebel dan kerajinan di Indonesia menyadari penerapan teknologinya tertinggal jauh dibandingkan pelaku industri mebel di Vietnam.

‘’Dalam lawatan tersebut, delegasi HIMKI melakukan kunjungan ke Vietnam untuk menemui Binh Duong Furniture Assosiation (BIFA), asosiasi industri mebel dan kerajinan Vietnam untuk mempelajari lebih lanjut cara meningkatkan kinerja ekspor produk mebel dan kerajinan di negara tersebut sehingga ekspornya meningkat pesat,’’ ujar Iman Rahman, Ketua Bidang Promosi dan Pemasaran Wilayah Asia DPP HIMKI kepada Tilongkabilanews.id, Kamis(19/9/2024).

Kunjungan delegasi HIMKI menemui BIFA dalam rangka menjajaki kerjasama mengembangkan industri mebel di kedua negara tersebut. Untuk itu, HIMKI pun memandang penting mempelajari lebih lanjut penerapan teknologi di industri mebel di Vietnam itu. Selama lawatan di Vietnam, delegasi HIMKI mengunjungi beberapa pabrik mebel anggota BIFA, yaitu Lam Viet Joint Stock Company dan Hiep Long Fine Furniture Company yang memproduksi lebih dari 200 kontainer setiap bulannya.

Penerapan teknologi di industri mebel di Vietnam ini bisa lebih maju belasan hingga puluhan tahun dari Indonesia,sehingga industri mebel di sana pertumbuhannya cukup besar, Sementara penerapan teknologi di industri mebel di Indonesia masih sangat lemah. Bahkan industri mebel di tanah kita ini dalam melakukan produksinya lebih banyak secara manual dan padat karya, bukan memanfaatkan teknologi canggih seperti yang berkembang di negara yang sudah maju di sektor industri.

Delegasi HIMKI juga berkesempatan melakukan kunjungan ke pabrik mebel anggota Dong Nai Wood and Handicraft Association (DOWA) yaitu Tavico. Perusahaan tersebut didirikan pada tahun 2005 dan memiliki kapasitas produksi hingga 200 ribu m3 kayu bulat dan 200 ribu m3 kayu potong per tahun dan sudah masuk dalam rantai pasok kayu global. Teknologi canggih sudah dilakukan sejak 15 tahun lebih.

Ini ironis dengan yang terjadi di Indonesia. Pabrik mebel kita bisa memiliki jumlah karyawan hingga 2.000-3.000 orang. Walaupun industri mebel di Indoensia itu lebih padat karya, namun produktivitasnya belum tentu lebih besar dari perusahaan di Vietnam. Untuk skala produksi juga kita kalah jauh dibandingkan dengan Vietnam. Mereka memanfaatkan kemajuan teknologi permesinan yang canggih yang digunakan di industrinya.

Perusahaan mebel di Vietnam juga sudah menerapkan Enterprise Resources Planning (ERP) sejak belasan tahun lalu. ERP merupakan sistem teknologi informasi yang memantau proses produksi mulai dari pengolahan bahan mentah sampai pengiriman produk jadi dan penjualannya. Hal yang sama belum menjadi perhatian utama di Indonesia.

Penerapan teknologi dan mesin canggih di pabrik mebel itu sangat membutuhkan dukungan  pendanaan atau investasi yang tiddak sedikit nilainya. Hal  ini, yang membuat pola pikir para pelaku usaha mebel dan kerajinan di Indonesia tidak mau menerapkan teknologi di pabriknya yang sudah mendulang keuntungan besar. Hal ini mestinya bisa menjadi perhatian kita semua.

‘’Walaupun strategi perusahaan berbeda-beda, kami berharap agar para pengusaha mebel dan kerajinan di Indonesia mengubah pola pikirnya. Sebab, jika para pengusaha mebel di Indonesia ini tidak kunjung berubah pola pikirnya, kemunggkinan besar industri manufaktur Indonesia, salah satunya industri mebel tidak akan berkembang dengan pesat, bahkan kemungkinan bakal stagnan atau jalan ditempat,’’kata Iman Rahman .

Mengenai perbedaan terkait produktivitas industri mebel dan kerajinan antara Indonesia dan Vietnam, menurut Iman Rahman, salah satunya terlihat dari kinerja ekspor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada 2021 ekspor mebel dan kerajinan Indonesia mencapai hampir USD 3,5 miliar, namun turun menjadi USD 3,2 miliar pada 2022, kemudian menjadi USD 2,5 miliar pada 2023.

Ekspor mebel dan kerajinan Indonesia pada Januari-Maret 2024 secara kumulatif mengalami penurunan sebesar 4,01 persen. Kelompok furnitur pada tahun ini mengalami kenaikan tipis sebesar 1,15 persen, sedangkan kelompok kerajinan turun 17,26 persen.

Sementara itu, berdasarkan data BIFA, total omzet ekspor kayu dan produk kayu Vietnam mencapai USD 7,5 miliar sepanjang semester I 2024. Tahun ini, negara tersebut memperkirakan total nilai ekspor olahan kayu bisa mencapai rekor di USD 17,5 miliar.

Besarnya volume ekspor furniture mereka inilah yang menggelitik kami para pelaku industri mebel dan kerajinan, untuk yang kedua kalinya, melakukan lawatan ke Vietnam. Kami ingin belajar bagaimana cara meningkatkan kinerja ekspor produk mebel dan kerajinan.

Memang, kinerja ekspor produk mebel dan kerajinan Indonesia selalu positif hingga mencapai puncaknya pada 2021. Namun, setelah pandemi COVID-19, kinerja ekspor produk mebel dan kerajinan yang dibuat industri mebel dan kerajinan di tanah air mengalami penurunan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kinerja ekspor mebel dan kerajinan Indonesia pada 2021 sebesar USD 3,5 miliar, namun pada 2023 mengalami penurunan menjadi USD 3,2 miliar dan kemudian pada 2023, ekspornya sebesar USD 2,5 miliar. Sementara kinerja ekspor produk mebel di Vietnam hampir USD 15 miliar, sekitar 5 kali lipat dari kita. Padahal dari berbagai sisi kita memiliki segalanya.

‘’Tujuan ekspor yang dilakukan para pelaku industri mebel Indonesia ini secara mayoritas memilih pasar Amerika Serikat. Ekspor  ke negara ‘’Paman Sam’’ ini produk mebel dan kerajinan, yakni masing-masing 54 persen dan 48 persen. Kemudian disusul oleh Jepang, Belanda, Jerman, dan Korea Selatan. Kita mulai ke India dan mudah-mudahan ke Vietnam. Untuk itu kita bisa berkolaborasi dengan mereka.,’’jelasIman Rahman.

Beberapa tantangan ekspor mebel dan kerajinan Indonesia menghadang industri mebel dan kerajinan di tanah air, diantaranya krisis pandemi COVID-19 beberapa waktu lalu, kemudian konflik geopolitik Rusia dan Ukraina, Timur Tengah serta perlambatan ekonomi di China. Isu lain seperti EU Deforestation Regulation (EUDR) yang akan berlaku awal 2025, dapat menjegal produk olahan kayu Indonesia masuk ke pasar Uni Eropa sebab komoditas dan produk harus dapat ditelusuri asal usulnya atau dapat ditelusuri hingga ke lahan tempat diproduksi.

Ada juga tarif angkutan internasional yang naik signifikan pada Mei 2024 yang disebabkan berbagai faktor seperti kenaikan harga bahan bakar, gangguan rantai pasok, dan peningkatan permintaan jasa angkutan. Rute-rute di Eropa sangat terdampak oleh krisis di Laut Merah.

Adanya ajakan kerjasama dari pihak Vietnam tentu kita sambutbaik. President of BIFA Nguyen Liem berharap adanya kerjasama antara HIMKI dan BIFA bisa direalisasikan dan  terus ditingkatkan untuk mengakselerasi kinerja ekspor mebel kedua negara.

 “Vietnam dan Indonesia adalah dua negara yang memiliki keunggulan dalam mengekspor produk pengolahan kayu, dan menempati peringkat teratas di benua Asia,” ujar Nguyen Liem

Nguyen menjelaskan, Binh Duong dikenal sebagai ibu kota industri kayu dan menyumbang hampir 50 persen dari total omzet ekspor kayu di Vietnam. Saat ini, ada lebih dari 1.200 perusahaan pengolahan dan ekspor kayu, mencakup 900 perusahaan domestik dan 300 perusahaan asing.

Sepanjang semester I tahun 2024, lanjut dia, industri kayu Binh Duong mengekspor sekitar USD 3,2 miliar atau setara 40 persen dari total omzet ekspor kayu dan produk kayu Vietnam yang mencapai USD 7,5 miliar.

“Diharapkan omzet ekspor kayu dan produk kayu Vietnam pada tahun 2024 dapat mencapai rekor USD 17,5 miliar. Pemerintah mendukung penuh upaya yang kami lakukan,” ungkap Nguyen.

Saat ini, BIFA memiliki anggota lebih dari 350 perusahaan pengolahan kayu domestik. BIFA menargetkan dapat mencapai 550 anggota pada tahun 2030.

Sementara HIMKI memiliki anggota lebih dari 2.500 unit pelaku usaha dengan komposisi 10 persen perusahaan skala besar, 30 persen skala menengah atau sedang, dan 60 persen industri skala kecil.

“Saya yakin bahwa peningkatan kerja sama antara BIFA dan HIMKI akan membawa manfaat bersama bagi organisasi kami dan industri furniture yang lebih luas,” pungkas Nguyen.

Hubungan Perdagangan Indonesia–Vietnam

Selama10 tahun terakhir ini hubungan perdagangan antara Indonesia dan Veitaman mengalami pertumbuhan yang positif. Adanya pertumbuhan hubungan dagang di antara kedua negara tersebut, yaitu mencapai lebih dari tiga kali lipat.

‘’Hbbungan perdagangan antara Indonesia dan Vietnam mengalami pertumbuhan positif  pada 10 tahun terakhir ini menunjukkan gejala ekonomi di antara kedua negara semakin sehat yang dibuktikan dengan tumbuhnya kinerja diantara kedua belah pihak.  Hubungan perdagangan antara Indonesia dan Vietnam berkembang cukup pesat dalam satu dekade terakhir. Jika digabung, porsi perekonomian kedua negara mencapai 45 persen di kawasan ASEAN,’’’ujar  Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Ho Chi Minh Vietnam Agustaviano Sofjan seperti yang dikutip dari Kumparan.com

Sofian menyebutkan pada tahun 2014 neraca perdagangan Indonesia-Vietnam hanya USD 4 miliar. Namun sekarang di tahun 2022-2023 perdagangan dua arah sudah mencapai USD 14 miliar [sekitar Rp 217,1 triliun dengan kurs BI Jisdor Rp 15.509 per Dolar AS].

Adapun komoditas yang berkontribusi paling besar dari ekspor Indonesia ke Vietnam yakni batu bara, minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO), otomotif, kemudian komoditas baja.

Lebih lanjut Sofjan, mengatakan ada banyak potensi kolaborasi antara Indonesia dan Vietnam yang bisa terus bisa dikembangkan. Karena Vietnam dan Indonesia sama-sama memiliki jumlah penduduk besar, mencakup 55 persen dari total penduduk ASEAN yakni Vietnam sekitar 100 juta penduduk, sementara Indonesia 280 juta penduduk.

“Jika kita gabungkan ekonomi Vietnam dan Indonesia diperkirakan sekitar 45 persen, jadi itulah mengapa jika Vietnam dan Indonesia bersatu, kita dapat membuat perbedaan bagi ASEAN,” ujarnya. (Lili)

 

banner 468x60

Author: 

Related Posts