Desain, Kata Nor Jayadi Miliki Bentuk Makna yang Bisa Tentukan Keputusan Konsumen Membeli

Pendiri sekaligus desainer utama CV Nafarrel Furniture, Nor Jayadi
Pendiri sekaligus desainer utama CV Nafarrel Furniture, Nor Jayadi

YOGYAKARTA (Tilongkabilanews.id)-Bagi pelaku bisnis furnitur yang juga seorang akademisi selaku dosen di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Nor Jayadi memiliki pandangan mengenai desain suatu produk, khususnya mebel bukan hanya terkait estetika atau keindahan. Maksudnya, desain itu mempunyai  bentuk makna yang disampaikan seorang desainer dan secara diam-diam dapat menentukan keputusan konsumen untuk membeli produk yang dibuatnya itu. Karena itu,  Nor Jadi ketika berada di dalam kelas saat mengajar para mahasiswanya kerap memulai perkuliahan bukan dari teori, tapi dari cerita

Dia  bercerita tntang bagaimana sebuah desain yang bagus belum tentu diterima pasar, dan sebaliknya, sebuah desain sederhana bisa meledak jika peka terhadap gaya hidup. “Desain itu harus punya napas,” tutur Nor Jayadi.

Bacaan Lainnya

Untuk membuktikan desain itu memiliki napas yang berarti bagi suatu produk, salah satunya mebel, dia pun tidak segan turun langsung ke lapangan menyentuh sendiri bahan-bahan mentah, meraba pasar, hingga merancang langsung produk-produk berbahan kulit di workshop miliknya.
Jayadi  sendiri merupakan pendiri sekaligus desainer utama CV Nafarrel Furniture, perusahaan yang ia bangun sebagai perpanjangan tangan dari hasrat kreatifnya di bidang desain mebel. Diantara banyaknya pelaku usaha furnitur yang bermain di wilayah kayu, rotan, atau besi, Jayadi memilih jalan sunyi: kursi berlapis kulit.
“Kalau saya ditanya pekerjaan, ya saya bisnis furnitur. Khususnya furnitur berbahan kulit,” ujarnya

Jayadi sendiri dalam menjalankan bisnis furniturnya itu memiliki pedoman yang dijadikan filosofinya, yaitu jangan bersaing di kolam yang ramai, melainkan pilihlah kolam yang berbeda dan sepi pemain. Untuk itu, Jayadi pun fokus dibisnis furnitur berlapis kulit. Dipilihnya dibisnis tersebut, karena belum menjadi arus utama di industri mebel lokal.

 “Jadi persaingannya lebih sedikit, sehingga   peluang sangat besar,” ucap Jayadi.
Dia mengemukakan, bahan kulit yang digunakan untuk pembuatan furniturrnya itu sebagian besar didatangkan dari Magetan, Jawa Timur.  Alasannya memilih bahan baku kulit  lokal karena kualitasnya tak kalah dengan impor, dan harganya lebih bersahabat. Sesekali ia menggunakan kulit dari Yogyakarta, namun mayoritas bahan baku tetap datang dari Magetan, tempat yang menurutnya belum terlalu banyak pemain.
Adapun kursi-kursi berbahan kulit buatannya kini telah merambah pasar Amerika Serikat, China, Yunani, dan beberapa negara Eropa.
Menurut pria yang dipercaya sebagai Wakil Ketua Bidang Pengembangan Desain Mebel di DPP Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI),kekuatan desain bukan hanya pada tampilannya, tetapi pada riset yang menyertainya.

 Ia selalu memulai proses kreatif dari pemahaman akan tren gaya hidup negara tujuan.

Dia menambahkan, selaku pelaku bisnis tentunya tidak bisa hanya mengandalkan selera pribadi atau tren lokal, melainkan harus ada riset.
Pada kesempatan itu, Jayadi pun mengungkapkan desain-desain yang dibuatnya sebagian besar mengikuti gaya hidup Amerika, pasar ekspor utamanya. Namun jika suatu saat pasar itu lesu, dia sudah siap mengalihkan fokus ke Eropa atau Timur Tengah. Fleksibilitas menjadi kunci.

“Kita harus luwes. Karena desain juga soal waktu dan momentum,” ucap dia.
Salah satu hal menarik yang ia temui adalah karakter buyer dari luar negeri, terutama Amerika. “Mereka tidak punya desainer, hanya stylist. Jadi mereka bergantung sepenuhnya pada kita,” ujar Jayadi.

Itu berarti, peluang terbuka lebar bagi desainer Indonesia untuk mengajukan ide-ide desain. Buyer hanya akan memilih mana yang paling cocok, dan biasanya proses itu terjadi melalui empat pameran besar per tahun seperti High Point dan Las Vegas Market.
“Kalau tidak punya desain yang fresh, kamu akan tertinggal. Tapi kalau desainmu bagus dan bisa menjawab kebutuhan mereka, kamu bisa masuk terus,” tambahnya.
Meski begitu, perjalanan Jayadi tidak selalu mulus. Ia mengakui, beberapa desainnya pernah ditolak di awal. Namun ia menjadikan setiap penolakan sebagai bahan ajar di kelas. Mahasiswanya belajar langsung dari kegagalan dan keberhasilan yang ia alami di lapangan.
“Semua saya bawa ke kelas. Saya ingin mahasiswa tahu bahwa dunia desainD itu nyata, bukan sekadar teori,” katanya. (Lili)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *