
Prof. Dr. Fory A. Naway, M.Pd
Kabupaten Gorontalo (tilongkabilanews.id) – Dalam hidup dan kehidupan ini, manusia tidak dapat dilepaskan dari kertas. Saat lahir, akte kelahiran terbuat dari kertas, saat sekolah, buku Rapor dan Ijazah juga menggunakan kertas, dalam berbelanja sehari-hari sebagian besar, juga menggunakan uang kertas, saat menjadi sarjana, magister dan Doktor sekalipun, semuanya dibuktikan dengan selembar kertas. Bahkan sesudah mati, kita juga masih membutuhkan akte kematian berupa selembar kertas. Artinya, dalam hidup ini, kita tidak lebih dari kertas demi selembaran kertas.
Saking karena hidup ini terkadang hanya bergantung pada selembar kertas, maka tidak jarang juga, ada yang mengambil jalan pintas untuk meraih selembar kertas. Buktinya selama ini, banyak kasus dan skandal “pemalsuan” yang terjaring, bahkan terus mencuat dari selembar kertas. Ada yang terjaring karena Ijazah palsu, sertifikat palsu dan banyak pula yang berurusan dengan hukum karena pemalsuan uang kertas dan sebagainya.
Fenomena itu menggambarkan, betapa kita selama ini terjebak pada nilai sebuah kertas, bukan pada orientasi kualitas. Artinya, hanya karena selembar kertas yang menjadi fokus dan titik berat sebagai sebuah persyaratan untuk masuk dan mendaftar di instansi tertentu misalnya, maka aspek kualitas, baik aspek kualitas intelektualitas, moralitas dan kualitas performance diri seseorang menjadi terabaikan. Fenomena yang demikian, pada akhirnya dimanfaatkan oleh “oknum-oknum” yang memiliki standar moral yang rendah untuk melakukan sebuah tindakan pemalsuan.
Sejatinya, selembar kertas menjadi sebuah penggambaran, ukuran, barometer dan indikator tentang kualitas berpikir, kualitas tindakan bahkan kualitas kepemilikan. Hanya saja, lagi-lagi, setiap orang memiliki “standar moral” yang berbeda dalam memandang sebuah nilai kertas. Prinsip “yang penting” terkadang menjadi acuan bagi mereka yang mencoba “mendekonstruksi” nilai dari sebuah kertas. Yang penting bisa lolos, yang penting bisa masuk, yang penting bisa memenuhi hasrat dan keinginan, persoalan “kualitas” belakangan.
Dengan kata lain, dalam tataran ideal, nilai selembar kertas adalah menggambarkan nilai kualitas diri seseorang, baik kualitas intelektual, kualitas emosional, kualitas kecerdasan, kualitas pengalaman, kualitas latihan, kualitas belajar dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, selembar kertas, seperti uang kertas, jazah, sertifikat, akte jual beli dan sederet “kertas berharga” lainnya menjadi sangat “benilai”, bukan karena kertasnya, melainkan karena “proses” untuk meraihnya yang sungguh tidak mudah. Itulah sebabnya pula, upaya pemalsuan atau tindakan tidak terpuji dengan “mengambil jalan pintas” dengan tindakan “pemalsuan”, tidak sekadar melanggar hukum, melainkan sebuah penistaan terhadap “nilai” selembar kertas sekaligus mengusik rasa keadilan dan kemanusiaan yang patut dicerca.
Untuk mendapatkan setumpuk uang kertas seratus ribu-an misalnya, atau selembar kertas berupa ijazah, sertifikat tanah dan sebagainya misalnya, orang lain dengan susah payah, mengorbankan tenaga, waktu, air mata, keringat bahkan bertaruh nyawa bertahun-tahun, maka sungguh tidak adil dan sebuah kedzaliman, jika ada yang dengan “mudah” memalsukannya. Bahkan dalam perspektif agama sudah dapat dipastikan, bahwa berbagai hasil yang diraih dan diperoleh dengan cara “pemalsuan” adalah hukumnya “haram”.
Pernah dikisahkan dalam sebuah kitab, bahwa pada zaman Khalifah Umar Bin Khatab pernah terjadi ada seseorang yang terbukti “memalsukan” cap Baitul Maal. Ia lantas dihukum cambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun di negeri orang. Hal itu dilakukan untuk menghindari pelakunya dari azab akherat yang sungguh berat.
Itu artinya, bahwa untuk meraih sesuatu dengan “jalan pintas”, bukan merupakan pilihan dan tindakan yang tepat. Bagaimanapun juga, kepalsuan adalah wujud kerancuan dalam berpikir yang kelak akan terbukti dari ketidakmampuan dalam melihat persoalan-persoalan yang lebih besar lagi. Karena sesungguhnya, selembar kertas menjadi sebuah nilai yang menunjukkan kualitas dan kapasitas.
Sepintar-pintarnya menyembunyikan kepalsuan tetap akan tercium juga. Paling tidak akan tercium dari caranya berpikir, caranya berbicara atau dapat dicermati dari kemampuan, kualitas dan kapasitasnya di tengah masyarakat. Selain itu, ia bisa saja dapat bersembunyi dan berdalih dari sesama makhluk, namun tidak di hadapan Allah SWT.
Itulah asumsi-asumsi yang sejatinya menjadi rujukan, bahwa “kepalsuan”, apapun jenisnya, tidaklah memberikan ruang “yang aman” bagi pelakunya. Hidupnya sudah pasti akan dibayang-bayangi oleh kesalahan, selalu gelisah, frustrasi bahkan tidak akan pernah menikmati ketenangan dalam hidupnya.
Orang yang hidup dari hasil “kepalsuan”, mulai dari ijazah palsu, uang kertas palsu, akte jual beli palsu, sertifikat palsu dan sebagainya akan selalu tampil pula dengan penuh kepalsuan. Dalam perspektif ilmu psikologi, ciri-ciri orang yang penuh dengan “kepalsuan” diantaranya adalah ; Pertama, ia suka merendahkan orang lain, menyudutkan orang-orang terdekatnya. Baginya kesulitan orang lain adalah berkah baginya. Kedua, seseorang yang hidup dari kepalsuan akan selalu sibuk mencari “musuh” dan berusaha mencari penyokong yang mendukung tindakannya. Ketiga, saat orang lain atau temannya terjatuh atau merasa sulit, ia akan bersorak paling keras, ia jarang memberi pujian pada orang lain. Keempat, mengkritik orang lain dengan tajam dan menjatuhkan atau senang mempermalukan orang lain di depan banyak orang. Manusia model seperti ini seperti kata pepatah “gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan tampak”. Kelima, ia sangat membutuhkan pengakuan dari orang lain dan sibuk mencari perhatian sehingga apa yang diucapkan dan dikatakannya cenderung “ngawur, tidak bermutu” dan asal bunyi.
Pada prinsipnya, orang yang hidup dengan penuh kepalsuan, selalu mencari “kompensasi” untuk selalu menyalahkan orang lain dan ia selalu menganggap dirinya yang paling benar. Hal itu menggambarkan bahwa ‘orang yang sejak awal meraih sesuatu dengan cara “yang tidak benar” serta hidup dari sesuatu yang “palsu”, maka nur atau cahaya kehidupannya akan selalu saja redup. Hidupnya selalu saja dibayang-bayangi oleh kesalahannya sehingga ia selalu mencari-cari kesalahan orang lain agar ia merasa “tidak sendiri”. Itulah watak yang tercermin dari orang yang “terlanjur” hidup dalam kepalsuan, tidak memiliki kemampuan, ingin dianggap tuan namun sayangnya tidak bertuah.
Kesimpulannya, nilai dari sebuah kertas, adalah kapasitas dan kualitas. Kepalsuan sudah pasti akan melahirkan kerancuan dan ketidakmampuan. (***)
Penulis adalah Ketua TP-PKK Kabupaten Gorontalo,
Ketua PGRI Kabupaten Gorontalo,
Ketua ICMI Kabupaten Gorontalo,
Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo.