JAKARTA (Tilongkabilanews.id)-Kembalinya mantan napi koruptor ke politik memang dilematis bagi partai politik. Disatu sisi, partai politik yang menerima kembali kadernya yang mantan napi koruptor akan dinilai mentolerir perilaku koruptif.
‘’Partai politik seperti ini seolah menentang amanah reformasi yang anti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN),’’ujar Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, di Jakarta, Minggu (6/2/2022).
Partai politik tersebut lanjut Jamiluddin, juga akan dinilai masih tergantung kepada kader mantan napi koruptor tersebut. Hal ini akan dipersepsi masyarakat sebagai kegagalan partai tersebut dalam menambah dan menciptakan kader baru yang potensial menjadi pemimpin.
Disisi lain tambah dia, partai politik juga harus menghormati hak politik kadernya. Meskipun kadernya mantan napi koruptor, namun ia tetap memiliki hak untuk masuk partai politik.
Karena itu,ucap mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996 – 1999, partai politik akan merasa bersalah bila menolak kadernya kembali ke kandangnya untuk berpolitik. ‘’Setidaknya partai politik tersebut akan merasa melanggar HAM kadernya untuk berpolitik,’’tutur Jamil.
Dilema tersebut kata Jamiluddin, seyogyanya dipahami oleh mantan napi koruptor. Ia idealnya menahan diri untuk tidak aktif dipartainya agar masyarakat tidak memvonis partainya mentolerir perilaku koruptif.
Kecenderungan itu tampaknya belum dimiliki para mantan napi koruptif. Mereka lebih mementingkan ambisi pribadi daripada dampak negatif ke partainya.(Lili).