Untuk Mudahkan Usaha, Syahrizal Mustafa Lebih Andalkan Teknologi

 Ekonomi

 

Syahrizal Mustafa

BANDUNG(Tilongkabilanews.id) – Bagi Syahrizal Mustafa yang biasa dipanggil Rizal, seorang pelaku bisnis mebel yang menerapkan sistem manajemen usaha berbasis teknologi di Indonesia,  penguasaan teknologi, salah satunya teknologi digital sangat penting menjadi perhatian, termasuk bagi pelaku industri mebel maupun kerajinan. Pesatnya perkembangan teknologi digital sangat membantu para pelaku bisnis guna berkembang lebih maju lagi.

Keberadaan teknologi digital bagi pemilik perusahaan PT. RapidSoft International (Founder), PT. Maxima SS (Founder), dan PT. Svara Inovasi Indonesia (Share Holder) sangat membantu dan memudahkan dalam menjalankan bisnis. Karena itu, Syahrizal yang memiliki hobi olah raga, musik, dan travelling ini, penguasaan teknologi informaasi, salah satunya teknologi digital adalah segalanya dalam menjalankan bisnis yang sedang digelutinya.

Untuk itu, pria yang pernah menjabat sebagai Ketua AMKRI Bandung dan Priangan ini begitu  fasih kalau ditanya terkait teknologi informasi, pasalnya dia sendiri berlatar belakang Teknik ELektro dan melanjutkan pendidikan program beasiswa kolaborasi antara Indonesia (ITB/IAe) dan Prancis (UT Thomson) untuk bidang khusus RTSE (Real Time Software Engineering), sebuah program studi yang dikhususkan bagi engineer berpengalaman dalam defence, military, dan critical system. Dalam program ini Rizal terpilih sebagai salah satu dari 20 engineer terbaik yang berkompetisi dengan 1500-an engineer lain se-Indonesia.

Begitu fasih dan menguasai teknologi informasi, penyuka warna navy blue ini sekarang dipercaya sebagai Wakil Sekretaris Jenderal DPP HIMKI (Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia) bidang organisasi, pembinaan UKM, dan pemasaran ini menuturkan beberapa manfaat atau kegunaan teknologi infomasi bagi industri mebel dan kerajinan.

‘’Kegunaan atau manfaat keberadaan Information Technology (IT) ini sangat beragam bagi industri dan dunia usaha pada umumnya. Dalam bisnis dan industri mebel, penerapan IT tersebut dapat ditempatkan pada bidang desain, warehouse/storage, produksi, pemasaran, keuangan, operasi, hingga customer support. Sebagai contoh untuk fungsi produksi dan operasi, dapat dibangun sistem production control & monitoring agar proses produksi dilakukan secara simultan dan termonitor secara keseluruhan. Contoh lain, jika ada gejala tanda-tanda adanya kebakaran di pabrik, tidak perlu dilakukan secara manual. Tetapi dengan adanya teknologi digital ini bisa diketahui atau dideteksi lebih awal bila pada pabrik tersebut dipasang smart fire detection system yang terintegrasi sehingga potensi kebakaran bisa dideteksi dan dilakukan mitigasi resiko terukur yang sepadan dengan konsekuensinya,’’ kata Rizal.

Manfaatnya dari penerapan teknologi informasi tersebut, pengusaha mebel dan kerajinan pun bisa memantau terkait stok bahan baku yang ada di gudang, maupun pemanfaatan bahan baku yang sudah dipakai. Demikian juga di bagian keuangan dan marketing, semua bisa dipantau, sehingga hal itu sangat memudahkan bagi pengusaha industri mebel dan kerajinan dalam menjalankan bisnisnya.

Syahrizal menuturkan, ketika dirinya bersama delegasi HIMKI melakukan lawatan ke Vietnam dalam rangka melihat pameran dan kunjungan ke kantor BIFA, asosiasi industri mebel di negara tersebut, ternyata penguasaan teknologi baik IT maupun produksi di industri mebel dan kerajinan Indonesia tertinggal jauh dari industri mebel dan kerajinan yang ada di Vietnam.

Karena itu, para pelaku industri mebel dan kerajinan di tanah air pun harus mempelajari lebih lanjut penerapan teknologi di industri mebel di Vietnam.  Sebab industri mebel di negara tersebut tidak tanggung-tanggung bisa lebih maju puluhan tahun dari Indonesia.

“Saya melihat tumbuhnya industri yang besar, tapi tumbuhnya industri itu tidak semata-mata besar dalam segi skala, tapi mereka juga punya konten teknologi yang memadai. Inilah yang kita masih lemah, kita hanya membangun tapi masih manual, lebih banyak padat karya, bukan padat teknologi,” kata Syahrizal.

Untuk belajar lebih lanjut, HIMKI pun melawat ke beberapa pabrik mebel di Vietnam, yakni dua perusahaan anggota Binh Duong Furniture Assosiation (BIFA), Lam Viet Joint Stock Company dan Hiep Long Fine Furniture Company.

Lam Viet didirikan pada tahun 2002, memproduksi mebel outdoor, indoor, dan peralatan dapur. Saat ini memiliki total 800 karyawan dengan luas area pabrik mencapai 8 hektare. Perusahaan ini bisa memproduksi setidaknya 200 kontainer setiap bulannya.

Hiep Long merupakan perusahaan yang berdiri sejak 1993, saat ini memiliki total 600 karyawan dengan luas pabrik 4 hektare. Perusahaan tersebut juga memproduksi berbagai macam produk mebel indoor dan outdoor.

Kemudian pabrik ketiga adalah anggota Dong Nai Wood and Handicraft Association (DOWA) yaitu Tavico. Perusahaan yang didirikan pada tahun 2005 ini memiliki kapasitas produksi hingga 200 ribu m3 kayu bulat dan 200 ribu m3 kayu potong per tahun dan sudah masuk dalam rantai pasok kayu global.

“Industri mereka sudah beberapa generasi, 30 tahun lebih, dan sudah belasan tahun mengimplementasikan ERP (Enterprise Resources Planning). ERP merupakan sistem teknologi informasi yang memantau proses produksi mulai dari pengolahan bahan mentah sampai pengiriman produk jadi dan penjualannya. Artinya dari sisi itu kita sudah ketinggalan jauh karena sudah menerapkannya sejak 15 tahun yang lalu, sedangkan kita baru mau mulai. Itu saja masih susah, banyak yang punya mindset ah segini saja sudah cukup”. Sepertinya terlena dan tidak menyadari bahwa ke depan persaingan semakin ketat dan sarat dengan penggunaan teknologi kalau kita mau tingkatkan skala kuantitas dan kualitas produk, sudah jadi tuntutan pasar, jelas Rizal.

Sementara untuk beberapa industri mebel di Indonesia termasuk industri padat karya dengan jumlah karyawan cukup banyak, dapat mencapai 2.000-3.000 orang. Namun demikian produktivitasnya belum tentu lebih baik dari perusahaan sejenis di Vietnam. Buktinya, kapasitas produksi pabrik di Vietman dengan jumlah karyawan 600 dapat mengirim 30 kontainer per minggu, atau di pabrik lain dengan jumlah 800 kayrawan dapat mengirim 200 kontainer dalam sebulan. Sementara industri mebel di Indonesia mungkin hanya belasan kontainer saja dalam sepekan.

‘’Saya mempunyai keyakinan produktivitas dapat lebih ditingkatkan dengan penggunaan teknologi produksi dan penerapan sistem manajemen berbasis IT” ucap Rizal.

‘’Implementasi teknologi informasi di industri adalah sebuah keniscayaan. Meski demikian, saya akui penerapannya pada industri mebel butuh sokongan pendanaan atau investasi yang cukup memadai namun manfaatnya tidak dapat dirasakan dalam waktu singkat, harus lihat dalam 3-5 tahun ke depan.  Tidak masalah, yang penting trend-nya positip dan metric atau ukurannya jelas seperti cost, efisiensi, produktifitas, akurasi, dan lain sebagainya,;imbuh Rizal.

Menurut Rizal,hal inilah yang membuat mindset berpikir sebagian pelaku usaha mebel dan kerajinan di Indonesia enggan membangun atau mengebangkan sistem manajemen di pabriknya yang selama ini sudah mendapatkan keuntungan lumayan. Sebenarnya jalan tengahnya bisa dilakukan dulu apa yang disebut dengan Technology Readiness/Assessment, semacam preliminary assessment guna menguji kelayakan pengembangan sistem.

Rizal menambahkan, bagi perusahaan/industri yang sedang tumbuh  wajib membuat IT Master Plan bagi organisasinya, supaya tidak tambal sulam yang pada akhirnya membuat bengkak investasi lantaran tidak terencana dengan baik.

Menurut Rizal, walaupun strategi perusahaan berbeda-beda, namun diharapkan para pengusaha mebel dan kerajinan di Indonesia mengubah pola pikirnya. Pasalnya, menurut Syahrizal, jika tidak kunjung berubah, maka industri mebel dan kerajinan Indonesia akan mandek alias stagnant pada kisaran kondisi tertentu saja, dan bahayanya masuk dalam comfort zone (zona nyaman), merasa sudah cukup dengan apa yang telah dicapai selama ini.

Bahkan bagi pengusaha mebel dan kerajinan yang tidak mau merubah pola pikirnya terkait penggunaan teknologi tentunya akan menyulitkan dia dalam beradaptasi merespons kebutuhan dan kemauan konsumen dan tuntutan terhadap peningkatan atau upscaling kapasitas produksi. Penerapan teknologi pasti ada potensi konsekuensi lanjutan, seperti pengurangan jumlah karyawan sebagai dampak perubahan sistem manajemen. Namun, hal tersebut menjadi bagian dari transformasi dan adaptasi, kendati memang harus dilakukan dengan bijak.

Dengan menggunakan teknologi yang terkini existing workers bisa diswitch penugasannya, tentu diikuti dengan penyiapan kompetensi yang memadai. Pait-paitnya memang kita harus PHK, asalkan dilakukan dengan layak saja.

Adapun perbedaan produktivitas industri mebel dan kerajinan Indonesia dan Vietnam salah satunya terlihat dari kinerja ekspor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2021 ekspor mebel dan kerajinan Indonesia mencapai hampir USD 3,5 miliar, namun turun menjadi USD 3,2 miliar pada 2022, kemudian menjadi USD 2,5 miliar pada 2023.

Ekspor mebel dan kerajinan Indonesia pada Januari-Maret 2024 secara kumulatif mengalami penurunan sebesar 4,01 persen. Kelompok furnitur atau mebel pada tahun ini mengalami kenaikan tipis sebesar 1,15 persen, sedangkan kelompok kerajinan turun 17,26 persen.

Sementara itu, berdasarkan data BIFA, total omzet ekspor kayu dan produk kayu Vietnam mencapai USD 7,5 miliar sepanjang semester I 2024. Tahun ini, negara tersebut memperkirakan total nilai ekspor olahan kayu bisa mencapai rekor di USD 17,5 miliar. (Lili).

 

banner 468x60

Author: 

Related Posts