Tika sebagai Generasi Kedua.Berkecimpung di Dunia Permebelan Sudah Tidak Asing Lagi bagi Dirinya

 Ekonomi

 

Direktur Vinoce Furniture, Mahfirotika Wahyu W

SOLO(Tilongkabilanews.id)- Ibarat pepatah atau sebuah ungkapan, buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya. Ungkapan itu sangat sesuai sekali  dengan sosok wanita pengusaha dari Solo, Jawa Tengah. Sosok wanita yang dimaksud, yaitu Mahfirotika Wahyu W, atau akrab disapa Mbak Tika,  yang sekarang ini sedang menekuni bisnis di industri pembuatan mebel.

Produk mebel maupun cara pembuatannya, bagi Mba Tika sendiri bukanlah sesuatu yang asing. Karena dia sendiri tumbuh besar di tengah industri mebel sejak kecil. ‘’Saya sendiri sejak kecil sudah sudah terbiasa dengan dunia furniture, mulai dari berinteraksi dengan klien hingga mempelajari bahasa asing yang memudahkannya berkomunikasi dalam bisnis internasional,’’kata  Direktur Vinoce Furniture, Mahfirotika Wahyu W ketika berbincang dengan wartawan Tilongkabilanews.id. Selasa (13/8/2024) sore.

Begitu sudah asing lagi dengan  dunia permebelan  dan . –pengalaman masa kecilnya yang akrab dengan seluk-beluk industri mebel membuatnya merasa nyaman di lingkungan ini.  Bahkan saat kuliah skripsinya pun dia pun lebih tertarik  dengan hal hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pameran yang berhubungan dengan furniture. Ini menunjukkan,  betapa mendalamnya keterikatan seorang Tika dengan industri ini.

Mahfirotika Wahyu sendiri menyelesaikan S1 Ilmu Komunikasi pada tahun 2012, kemudian melanjutkan ke jenjang S2 (Master of Business Administration – MBA) lulus 2019 di kampus yang sama yaitu di Universitas Gajah Mada Yoryakarta.

Ini salah satu produk mebel yang diproduksi Vinoce Furniture

Kata Tika, selama kuliah dia sebetulnya nyambi bekerja sebagai eksekutif di ASEAN Furniture Industries Council di Solo sejak 2014, posisi yang tidak asing baginya mengingat latar belakangnya.  Karena dia sendidi sudah terbiasa dengan hal-hal teknis seperti container, segmentasi produksi, dan ekspor, membuatnya sangat familiar dengan tantangan di dunia ini. Meski begitu, Tika mengakui bahwa bekerja di industri mebel tidak selalu mudah.

“Terkadang bikin pusing juga, tapi saya masih enjoy,” tutur Mbak Tika

Tika menjelaskan,kalau Vinoce Furniture yang dikelolanya sekarang ini  bisa dibilang sebagai kelanjutan dari usaha generasi pertama yang dirintis oleh orang tuanya. Meskipun usaha lama sempat mati, namun dia bersama keluarganya berusaha untuk bangkit kembali dengan mendirikan perusahaan baru yang tetap berada di segmen yang sama, yaitu furniture. Jika dulu dikenal dengan nama Tunas Jaya Perkasa Mandiri, kini Vinoce melanjutkan tradisi keluarga dengan mengembangkan bisnis furniture bebahan rotan dan kayu sebagai bahan bakunya.

Namun sekarang ini ditangan Tika selaku generasi kedua, produk mebel yang dibuat melalui   Vinoce Furniture, perusahaan miliknya itu  menampilkan karya dengan sentuhan yang lebih modern

Berkat  tangan dingin Tika dalam mengelola bisnis mebelnya itu dan ditunjang sentuhan modern pada produk mebel yang dibuatnya, produk mebel yang diproduksi Vinoce  Furniture cukup diperhitungkan di pasar ekspor. Karena produk mebel buatan Vinoce Furniture itu  hasil produksinya 80  persen diekspor ke beberapa negara, yaitu seperti ke ke Amerika, Eropa dan Singapura . Sementara sisanya sebanyak 20 persen untuk kebutuhan pasar domestik

Pada kesempatan itu, Tika pun curhat, ternyata menggeluti bisnis mebel penuh dengan lika-likunya. Namun demikian mau tidak mau harus dihadapinya, karena sudah menjadi bagian dari  kehidupan sehari-harinya.

Terkait adanya kendala yang menyebabkan dirinya meras mumet dalam menghadapi  klien yang nakal, dia harus bercerita kepada siapa untuk bisa diajak bicara atau konsutlasi.

Namun dia sendiri sebagai pengurus di DPP HIMKI (Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia) yang dipercaya  selaku Wakil Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga Internasional di organisasi bisnis mebel dan kerajinan itu, Tika pun tidak sungkan berkonsultasi dengan para seniornya.. Konsultasi dengan senior itu dia dilakukan, termasuk dengan Ketua Umum HIMKI, Abdul Sobur, Basuki Kurniawan,  Bambang, Vika dan Regina.

‘’ Ketika saya sedang menghadapi masalah baru dan membingungkan, saya pun mencoba konsultasi dengan mereka  yang sudah senior dibidang industri mebel,’’tutur Tika.

Untuk terus mengembangkan dirinya, Tika juga aktif mengikuti berbagai pelatihan, termasuk pelatihan Aku Siap Ekspor (ASE). Ia selalu mencari informasi yang tepat ketika menghadapi kesulitan.

 “Karena sekarang ini kan ada semacam perubahan pada buyer dibandingkan dulu,” ujarnya. Buyer yang dulu lebih fair, kini sering kali banyak komplain tanpa alasan yang jelas.

Dari pengalamannya belakangan Tika merasa sering menemui buyer yang tidak jujur, meminta diskon atau bahkan barang gratis dengan alasan yang tidak masuk akal.

 “Saya bisa tahu itu karena produk saya, saya jual ke orang lain itu tidak ada komplain, malah dipuji kualitasnya bagus,” ungkapnya.

Sementara buyer  yang tidak jujur itu,tabah Tika biasanya tidak memberikan DP, dan terkadang setelah pesan, barangnya pun ada yang tidak diambil, sehingga menimbulkan kerugian yang tidak sedikit.

Praktik buyer nakal itu berdasarkan catatan diirnya muncul sejak 2016 dan terus berlanjut hingga sekarang. “Saat saya tanya teman-teman di daerah, ternyata order mereka juga banyak yang tanpa DP, atau kalaupun ada DP, jumlahnya sangat kecil dan tidak reguler,” katanya. Karena trendata seperti itu,  Tika pun terpaksa menerima order tanpa DP, meskipun praktik seperti ini menjadi  risiko besar bagi pengusaha.

Dalam menghadapi buyer-buyer nakal, Tika selalu meminta arahan dari Ketua Umum HIMKI, yang sering menyarankan tentang perlunya pengembangan desain. Namun, Tika menyadari bahwa saran-saran seperti itu tidak bisa serta merta diterapkan, sebab terkadang terjadi hal yang berbeda di lapangan.

Untuk kebijakan, Tika mengusulkan agar pemerintah memberikan regulasi yang mendukung perluasan usaha furniture, seperti kemudahan perizinan bahan baku dan perizinan gudang. 

‘’Kenapa untuk  perluasan gudang seluas 1000 sampai 2000 meter urusannya sampai ke kementerian. Padahal persoalan itu  seharusnya bisa diselesaikan di tingkat daerah untuk mempermudah birokrasi,’pungkas Tika. (Lili)

 

banner 468x60

Author: 

Related Posts